Sabtu, 28 Oktober 2017

Aktualisasikan Reforma Agraria Sejati, Tuntaskan Konflik Agraria di Tanah-Air

Share it Please
Kembali didengungkan kepada yang katanya pemerintah mengenai buruknya situasi agraria di Tanah-Air akibat tidak dijalankannya agenda pembaruan agraria. Petani, sebagai mayoritas rakyat Indonesia telah menjadi warga negara yang tertindas dan terbelakang, dan desa-desa tempat petani bermukim telah menjadi kantong-kantong kemiskinan.
Kemiskinan di pedesaan ini diakibatkan oleh ketiadaan kepemilikan, akses dan kontrol petani atas tanah yang menjadi alat produksinya yang utama. Sekitar 56% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan tanah rata-rata di bawah 0,5 Ha. Selain itu, indeks gini tanah nasional mencapai angka 0,72, yang mengindikasikan bahwa struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih sangat timpang (BPS, 2015).
Saat ini, kita telah menyaksikan laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang begitu cepat dan meluas. Jika pun bertahan sebagai lahan pertanian, sesungguhnya penguasaan dan pengelolaannya telah berpindah tangan, terakumulasi ke perusahaan-perusahaan pertanian skala besar, dimana petani dipaksa menjadi buruh di tanah-tanah yang dulu digarapnya.
Selain peningkatan jumlah masyarakat miskin, BPS pun mencatat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2005-2015), negeri agraris ini telah kehilangan sekitar 5,7 juta rumah tangga petani. Proses deagrarianisasi dan kehilangan jumlah rumah tangga petani secara masif tersebut telah mengakibatkan negeri ini tak mampu mencapai swasembada pangan dan bergantung penuh pada impor pangan.
Berbagai peraturan perundangan tersebut telah membuka lebar keran investasi dan praktek-praktek perampasan tanah skala raksasa atas nama pembangunan. Kita menyaksikan setahun ini, praktik liberalisasi berbagai sektor agraria tersebut terus dijalankan, yang pada akhirnya mempertajam ketimpangan struktur agraria di Indonesia.
Konsekuensi dari tingginya monopoli, eksploitasi dan ketimpangan struktur agraria menyebabkan konflik agraria merebak di banyak daerah.. Konflik-konflik yang terjadi diikuti pula oleh berbagai tindak kekerasan, pelanggaran HAM berat dan kriminalisasi terhadap petani dan aktivis pendamping petani, yang mana pelakunya selain keamanan perusahaan, juga melibatkan aparat keamanan pemerintah seperti TNI dan Polri. Dalam sepuluh tahun terakhir (2004-2014), telah banyak korban konflik berjatuhan, baik laki-laki maupun perempuan, dimana 85 petani tewas, 110 orang tertembak, 633 orang mengalami penganiayaan dan 1.395 orang ditangkap (Laporan KPA, 2014).
Saat ini, pemerintahan Jokowi-JK yang menjanjikan pelaksanaan reforma agraria melalui program redistribusi tanah 9 juta hektar, harus mau dan mampu mengambil langkah konkrit dengan melaksanakan reforma agraria sejati, dimana redistribusi tanah sungguh-sungguh dijalankan dengan berorientasi pada tujuan: memperbaiki ketimpangan struktur agraria yang ada, bukan semata-mata “bagi-bagi tanah” apalagi legalisasi asset (sertifikasi); menyelesaikan konflik agraria dengan mengarahkan target obyek (tanah) prioritas reforma agraria adalah di wilayah-wilayah konflik agraria; dan mendorong perbaikan serta peningkatan kesejahteraan petani secara mandiri. Hanya melalui jalan reforma agraria sejati lah, petani di Indonesia akan menemukan jalan terang menuju pemenuhan rasa keadilan dan kemakmuran. Melalui reforma agraria pula, maka kedaulatan pangan pun akan terwujud secara nyata.

By. Muhammad Ikram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar