Kembali didengungkan kepada yang katanya pemerintah
mengenai buruknya situasi agraria di Tanah-Air akibat tidak dijalankannya
agenda pembaruan agraria. Petani, sebagai mayoritas rakyat Indonesia telah
menjadi warga negara yang tertindas dan terbelakang, dan desa-desa tempat
petani bermukim telah menjadi kantong-kantong kemiskinan.
Kemiskinan di pedesaan ini diakibatkan oleh
ketiadaan kepemilikan, akses dan kontrol petani atas tanah yang menjadi alat
produksinya yang utama. Sekitar 56% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau
petani gurem dengan kepemilikan tanah rata-rata di bawah 0,5 Ha. Selain itu,
indeks gini tanah nasional mencapai angka 0,72, yang mengindikasikan bahwa struktur
kepemilikan dan penguasaan tanah masih sangat timpang (BPS, 2015).
Saat ini, kita telah menyaksikan laju konversi lahan
pertanian ke non-pertanian yang begitu cepat dan meluas. Jika pun bertahan
sebagai lahan pertanian, sesungguhnya penguasaan dan pengelolaannya telah
berpindah tangan, terakumulasi ke perusahaan-perusahaan pertanian skala besar,
dimana petani dipaksa menjadi buruh di tanah-tanah yang dulu digarapnya.
Selain peningkatan jumlah masyarakat miskin, BPS pun
mencatat bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2005-2015), negeri agraris ini telah
kehilangan sekitar 5,7 juta rumah tangga petani. Proses deagrarianisasi dan
kehilangan jumlah rumah tangga petani secara masif tersebut telah mengakibatkan
negeri ini tak mampu mencapai swasembada pangan dan bergantung penuh pada impor
pangan.
Berbagai peraturan perundangan tersebut telah
membuka lebar keran investasi dan praktek-praktek perampasan tanah skala
raksasa atas nama pembangunan. Kita menyaksikan setahun ini, praktik
liberalisasi berbagai sektor agraria tersebut terus dijalankan, yang pada
akhirnya mempertajam ketimpangan struktur agraria di Indonesia.
Konsekuensi dari tingginya monopoli, eksploitasi dan
ketimpangan struktur agraria menyebabkan konflik agraria merebak di banyak
daerah.. Konflik-konflik yang terjadi diikuti pula oleh berbagai tindak
kekerasan, pelanggaran HAM berat dan kriminalisasi terhadap petani dan aktivis
pendamping petani, yang mana pelakunya selain keamanan perusahaan, juga
melibatkan aparat keamanan pemerintah seperti TNI dan Polri. Dalam sepuluh
tahun terakhir (2004-2014), telah banyak korban konflik berjatuhan, baik
laki-laki maupun perempuan, dimana 85 petani tewas, 110 orang tertembak, 633
orang mengalami penganiayaan dan 1.395 orang ditangkap (Laporan KPA, 2014).
Saat ini, pemerintahan
Jokowi-JK yang menjanjikan pelaksanaan reforma agraria melalui program
redistribusi tanah 9 juta hektar, harus mau dan mampu mengambil langkah konkrit dengan melaksanakan reforma agraria sejati, dimana redistribusi tanah
sungguh-sungguh dijalankan dengan berorientasi pada tujuan: memperbaiki
ketimpangan struktur agraria yang ada, bukan semata-mata “bagi-bagi tanah”
apalagi legalisasi asset (sertifikasi); menyelesaikan konflik agraria dengan
mengarahkan target obyek (tanah) prioritas reforma agraria adalah di
wilayah-wilayah konflik agraria; dan mendorong perbaikan serta peningkatan
kesejahteraan petani secara mandiri. Hanya melalui jalan reforma agraria sejati
lah, petani di Indonesia akan menemukan jalan terang menuju pemenuhan rasa
keadilan dan kemakmuran. Melalui reforma agraria pula, maka kedaulatan pangan
pun akan terwujud secara nyata.
By. Muhammad Ikram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar