Selasa, 09 Mei 2017

KESEHATAN YANG DIUANGKAN

Share it Please


NURUL AMRI-FAKULTAS PERTANIAN Kesehatan merupakan hal yang paling urgen dalam kehidupan manusia, bagaimana tidak semua kelancaran aktivitas manusia membutuhkan kondisi tubuh yang sehat. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan tubuh yang sehat? Ya salah satunya adalah dengan menjaga pola makan yang sehat, pola makan yang sehat yang dimaksud adalah bahwa kita harus mengosumsi makanan yang memenuhi standar kesehatan. Namun banyak orang yang tidak  memperhatikan hal tersebut.
Tanaman sayuran merupakan salah satu tanaman yang baik bila dikomsumsi karena  banyak mengandung vitamin yang berperan  untuk tubuh manusia. Namun dalam kemajuan zaman sekarang banyak kita temui sayuran yang justru bisa membahayakan bagi kesehatan manusia. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Ya dengan adanya kandungan pestisida di tanaman sayuran yang diberikan pada saat proses budidaya tanaman tersebut.


Apa itu Pestisida? Bagaimana bisa hadir dalam kegiatan Pertanian? Dan apa dampaknya bagi kesehatan?

Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme pengganggu. Nama ini berasal dari pest (“hama“) yang diberi akhiran -cide(“pembasmi”). Sasarannya bermacam-macam, seperti serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan, atau mikroba yang dianggap mengganggu. Dalam bahasa sehari-hari, pestisida seringkali disebut sebagai “racun”.
Pestisida hadir diprakarsai oleh adanya revolusi hijau. Revolusi hijau atau revolusi agraria yaitu suatu perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Gagasan tentang revolusi hijau bermula dari hasil penelitian dan tulisan Thomas Robert Malthus (1766 – 1834) yang berpendapat bahwa “Kemiskinan dan kemelaratan adalah masalah yang dihadapi manusia yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan peningkatan produksi pertanian. Pertumbuhan penduduk sangat cepat dihitung dengan deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, dst.) sedangkan peningkatan produksi pertanian dihitung dengan deret hitung (1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dst.)”. 

Perkembangan Revolusi hijau dimulai sejak berakhirnya PD I yang berakibat hancurnya lahan pertanian. Penelitian disponsori oleh Ford and Rockefeller Foundation di Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. IMWIC (International Maize and Wheat Improvement Centre) merupakan pusat penelitian di Meksiko. Sedangkan di Filipina, IRRI (International Rice Research Institute) berhasil mengembangkan bibit padi baru yang produktif yang disebut padi ajaib atau padi IR-8. Pada tahun 1970 dibentuk CGIAR (Consultative Group for International Agriculture Research) yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada berbagai pusat penelitian international. Pada tahun 1970 juga, Norman Borlang Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia 133 mendapatkan hadiah nobel karena gagasannya mencetuskan revolusi hijau dengan mencari jenis tanaman biji-bijian yang bentuknya cocok untuk mengubah energi surya menjadi karbohidrat pada tanah yang diolah menjadi subur dengan tanaman yang tahan terhadap hama penyakit.
Upaya meningkatkan produktivitas pertanian antara lain dengan cara sebagai berikut.
A. Pembukaan areal pertanian dengan pengolahan tanah.
B. Mekanisme pertanian dengan penggunaan alat-alat pertanian modern seperti bajak dan mesin          penggiling.
C.  Penggunaan pupuk-pupuk baru.
D. Penggunaan metode yang tepat untuk memberantas hama, misalnya dengan alat penyemprot hama, penggunaan pestisida, herbisida, dan fungisida.
Revolusi  Hijau di Indonesia di mulai sejak berlakunya UU Agraria pada tahun 1870 yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial  Belanda, sehingga di Indonesia dapat dikembangkan berbagai jenis tanaman. Dalam perkembangan kemudian , pada masa Orde Baru, program Revolusi  Hijau digunakan  sebagai  salah satu cara untuk meningkatkan produksi  pangan di Indonesia, terutama produksi beras. Revolusi Hijau ini dilaksanakan sebagai secara sistematis, terprogram,  dan terus –menerus sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan.

Kebijakan modernisasi pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru, yang sering dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau merupakan proses memodernisasikan pertanian gaya lama menjadi pertanian gaya modern dengan melakukan pengembangan bibit unggul jenis IR dari IRRI. Hal ini telah mengubah pola pertanian subsistensi menuju pertanian berbasis kapital dan komersial masyarakat Indonesia. 

Pestisida merupakan salah satu produk dari kebijakan revolusi hijau, sesuai dengan tujuannya untuk memberantas hama dalam peningkatkan produktivitas hasil-hasil pertanian. Dengan penggunaan pestisida dalam memberantas hama memang sangat efektif karena tidak memerlukan waktu yang lama dan mudah didapatkan oleh petani. Namun dibalik semua itu pestisida merupakan salah bentuk industrialisasi di bidang pertanian ala kapitalis. Menurut Suwanto (1994), kondisi pertanian di Indonesia di masa mendatang banyak yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah satu bentuknya akan mengarah pada pola pertanian yang makin monokultur, baik itu pada pertanian darat maupun akuakultur. sistem monokultur merupakan salah satu propaganda kaum elit dalam hal ini para industri-industri yang bergerak dalam penyediaan benih, seperti contohnya padi. Dengan melakukan standarisasi terhadap benih-benih unggul yang membuat para petani konvensional tidak mampu bersaing dalam hal penyediaan benih. Sehingga petani memiliki ketergantungan terhadap benih yang telah disediakan oleh industri.

Dari sistem inilah memunculkan banyak permasalahan dalam kegiatan pertanian yang salah satunya melimpahnya hama tanaman disebabkan karena tersedianya makanan sepanjang musim. Dari permasalahan ini muncullah produk-produk untuk membasmi hama tersebut yaitu pestisida. Dari pestisida memunculkan berbagai macam penyakit akibat residu. 

Namun petani para petani tidak memikirkan dampak negatif yang diakibatkan  oleh pestisida itu sendiri. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi  pestisida sintesis.

Dari penjelasan diatas untuk mengatasi hal tersebut, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengubah paradigma tersebut menjadi pertanian yang berkelanjutan. Beberapa model tentang sistem pertanian yang berkelanjutan yang ditawarkan oleh Salikin (2003) dalam bukunya yang berjudul “Sistem Pertanian Berkelanjutan” yaitu (1) Sistem Pertanian Organik,  konsep sistem pertanian organik sudah sering dibahas pada berbagai pertemuan ilmiah, misalnya seminar, lokakarya dan sarahsehan yang menggunakan tajuk pertanian organik atau pertanian ramah lingkungan. Secara teoritis banyak pakar pertanian ataupun ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial. (2) Sistem Pertanian Terpadu, menurut Wididana (1996), salah satu  model sistem pertanian yaitu sistem pertanian konvensional, sistem pertanian konvensional misalnya tumpang sari antara tanaman jagung dan tanaman kedelai, dimana dengan adanya sistem ini maka salah satu manfaatnya adalah ketersediaan tanaman bagi organisme pengganggu tanaman kecil. (3) Sistem Pertanian Masukan Luar Rendah, Reinjntjes et. all. (1999) dalam bukunya yang berjudul “Pertanian Masa Depan” secara lugas membahas pertanian dengan menggunakan input luar rendah. Metode yang digunakan dalam sistem ini yaitu optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan mengombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman ternak, ikan, tanah, air iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. (4) Sistem Pengendalian Hama Terpadu, sistem pengendalian hama terapadu menggunakan pendekatan komprehensif, menggunakan prinsip-prinsip ekologi, dan mengintegrasikan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel sehingga kondisi populasi hama selalu berada dalam tingkat yang tidak merugikan secara ekonomis, sekaligus dapat mempertahankan kelestarian lingkungan hidup serta menguntungkan bagi petani.

Lalu dimana peran mahasiswa menanggapi hal tesebut? Salah satunya dengan memberikan pemahaman dan melakukan praktik langsung kepada para petani bagaimana cara bertani yang baik dan mempunyai dampak positf di segala sektor, yaitu kelestarian lingkungan, ekonomi dan kesehatan.

   
   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar