Kamis, 04 Mei 2017

INJEKSI PRAKTIK NEOLIBERALISME DALAM PERTANIAN

Share it Please
Oleh: Andi Rahmansyah

          Kebutuhan akan pangan terlebih beras merupakan hal yang paling urgen dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan Negara agraris yang pada hakikatnya kuat dalam ketahanan pangan bagi rakyatnya. Menurut hasil sensus dari Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237.641.334 jiwa. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2000, yakni 206.264.595 jiwa, ini adalah sebuah peningkatan sebanyak 31.376.831 jiwa (15,37% dalam 10 tahun atau rata-rata 1,54% per tahun). Jumlah penduduk tersebut menyatakan pesatnya pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut di atas banyak pertanyaan yang muncul, mulai dari ketahanan pangan yang masih menjadi pertanyaan besar, apakah masih mecukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakat Indonesia ? Hingga metode pemerintah dalam mempertahankan kecukupan pangan yang ada di Indonesia, masihkah kita dalam rana swasembada pangan? Atau sudah bergantung pada produksi dari Negara asing.
            Kondisi saat ini menyatakan bahwa dari 237.641.334 jiwa masyarakat Indonesia, hanya sekitar 80% yang aktif mengonsumsi beras layak makan. Sisanya masih berjuang untuk mencukupi kehidupannya meskipun harus mengonsumsi makanan yang tidak layak makan. Tapi jika dilihat dari kebutuhannya, masyarakat indonesia termasuk konsumen yang cukup banyak membuang atau menyisakan makanan termasuk nasi. Contoh kecil yang bisa kita ambil adalah kebiasaan orang Indonesia makan tiga kali dalam sehari. Menurut hasil riset yang dilakuakan oleh BEM KEMA FAPERTA UH menyatakan bahwa dalam 1 kilogram beras terdapat sekitar 50.000 butir beras dan 250 butir dalam satu genggam orang dewasa. Jika kita lihat dari kebiasaan buruk masyarakat Indonesia yang biasanya menyisakan nasi dalam sekali makan, dalam perhitungan kasarnya dapat dikatakan ada sekitar 19 ton beras yang terbuang dalam sehari di Indonesia. Berbanding terbalik dengan kebutuhan beras untuk masyarakat ekonomi ke bawah yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja harus membanting tulang dan menghabiskan waktunya untuk terus bekerja.
       Petani merupakan profesi yang kebanyakan termasuk dalam kalangan masyarakat dengan ekonomi rendah. Hal ini memicu keinginan dari para petani untuk terus meningkatkan produksi dalam usaha peningkatan ekonomi di kehidupannya. Semua ini sepertinya sudah membudaya seperti yang terjadi pada masa sebelumnya yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto tepatnya pada awal pemerintahannya yang pada saat itu diberlakukan UU PMA No. 1 Tahun 1966, dan menjadi pintu masuk neoliberalisasi di sektor perekonomian Indonesia saat itu. Hal ini didasari oleh konstruk Negara adidaya pada saat itu yang berdalil bahwa Negara dunia ke 3 merupakan Negara berkembang yang membutuhkan bantuan dalam pembangunannya agar menjadi Negara yang maju. Berangkat dari hal tersebut, akhirnya Presiden menjabat pada saat itu menyatakan untuk membuka pintu sebesar-besarnya kepada investor dan korporat asing untuk membuka lapaknya di Indonesia. Salah satu prongram yang paling berpengaruh terhadap perkembangan neoliberalisasi di Indonesia adalah green revolution atau yang kita kenal sebagai Revolusi Hijau. Di era revolusi hijau pemerintah berusaha meningkatkan produksinya, salah satu metodenya yaitu melakukan kerja sama dengan pihak asing, dalam hal ini perusahaan asing yang memroduksi pupuk dan pestisida kimia. Seiring waktu berjalan, pupuk dan pestisida ini sudah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terlepas dari produksi pada saat itu, sehingga pihak asing bisa memonopoli perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari subsidi yang setiap tahunnya semakin berkurang dan menyebabkan masalah perekonomian petani saat itu. Hal ini terjadi karena bayaknya utang Indonesia pada saat itu sehingga subsidi yang pada awalnya memenuhi target, akhirnya digunakan untuk membayar utang pada Negara asing yang menjadi rekan bisnis dari Negara saat itu Dari hal tersebut, akhirnya investor asing terus memperluas jangkauan usahanya di Indonesia dan sudah menjadi kebutuhan masyarakat tani hingga saat ini.
       Penggunaan pupuk dan pestisida kimia sendiri sudah  merupakan sebuah hal yang menjadi budaya kaum tani untuk meningkatkan produksinya meskipun dengan dosis yang tinggi dan tak memperhatikan bahanya bagi kesehatan para konsumen. Berangkat dari hal tersebut, petani tidak mau menggunakan pupuk organik ataupun petisida nabati karena efeknya yang sangat lambat, dan lebih memilih menggunakan pestisida kimia yang belum jelas kelayakan dan hasil uji cobanya.
         Jika dilihat dari konsumsi beras di Indonesia, rata-rata masyarakat hanya memperhatikan merk dan tekstur berasnya saja dan melupakan kandungan di dalamnya. Penggunaan pestisida yang dianggap tidak terlalu penting bagi konsumen akhirnya membuat ancaman bagi kesehatan konsumen semakin besar. Pestisida sendiri digolongkan menjadi 2 yaitu pestisida kontak dan pestisida sistemik. Pestisida kontak dapat menyebabkan iritasi atau panyakit pada kulit saat bersentuhan langsung dengan kulit di seluruh tubuh, berbeda dengan pestisida sistemik yang jika digunakan secara berlebihan pada tanaman yang kita konsumsi dapat merusak organ dalam seperti ginjal, hati, dan usus. Selain itu aroma dari beberapa pestisida dapat menyebabkan mual, pusing, hingga sakit kepala. Dalam penggunaannya pestisida biasanya digunakan pada tanaman hortikultura dan pangan, yang pada dasarnya tanaman hortikultura dikonsumsi langsung atau tanpa pengolahan seperti tanaman pangan. Bisa kita lihat, jika dikonsumsi dengan pengolahan sebelumnya saja sudah berbahaya bagaimana dengan konsumsi langsung?. Memang sangat miris melihat kondisi saat ini apalagi karena ketergantungan kita terhadap beras itu sendiri.
        Selain dampak langsung yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida secara berlebih, terdapat dampak tidak langsung yang disebabkan oleh limbah pestisida yang biasanya hanya dihanyutkan ke sungai oleh para petani. Menurut buku karanagan Rachel Carson, Silent Spring menyatakan bahwa pestisida yang dihanyutkan ke sungai akan dimakan oleh plankton yang berikutnya mengalir menuju laut dan dimakan oleh ikan kecil yang merupakan makanan untuk ikan yang lebih besar dan seterusnya hingga ikan yang akhirnya ditangkap oleh manusia. Bisa kita bayangkan bagaimana jika seekor ikan memakan seratus ekor ikan kecil yang menelan plankton yang telah menkonsumsi pestisida kimia yang sudah digunakan.
      Jika kita berpikir untuk mengubah pandanagan petani tentang pestisida kimia, mungkin akan sanagat sulit. Salah satu sifat petani yang biasanya saya temukan di lapangan adalah tidak mempercayai sesuatu yang besifat teori tapi lebih kepada praktiknya langsung, sehingga sosialisasi tanpa aplikasi di lapangan tidak akan berarti apa-apa. Solusi yang bisa kita tawarkan pada petani adalah dengan penerapan sustenable agriculture atau Pertanian berkelanjutan yang pengablikasiannya menggunakan pupuk organic cair (POC) dan bio fertilizer. Jika dilihat dari efeknya mungkin akan cukup menyaingi hasil yang ditawarkan oleh pestisida kimia. Dalam hal ini, kita hanya mencoba untuk menghilangkan ketergantungan petani terhadap pestisida sintetik dan kembali kepada pertanian yang sehat dan ramah lingkungan

Salam Perjuangan, Salam Pergerakan, Dan Salam Anti Penindasan
Jayalah Dikau Jaya Pertanian Tercinta




Tidak ada komentar:

Posting Komentar