Selasa, 09 Mei 2017

KESEHATAN YANG DIUANGKAN



NURUL AMRI-FAKULTAS PERTANIAN Kesehatan merupakan hal yang paling urgen dalam kehidupan manusia, bagaimana tidak semua kelancaran aktivitas manusia membutuhkan kondisi tubuh yang sehat. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan tubuh yang sehat? Ya salah satunya adalah dengan menjaga pola makan yang sehat, pola makan yang sehat yang dimaksud adalah bahwa kita harus mengosumsi makanan yang memenuhi standar kesehatan. Namun banyak orang yang tidak  memperhatikan hal tersebut.
Tanaman sayuran merupakan salah satu tanaman yang baik bila dikomsumsi karena  banyak mengandung vitamin yang berperan  untuk tubuh manusia. Namun dalam kemajuan zaman sekarang banyak kita temui sayuran yang justru bisa membahayakan bagi kesehatan manusia. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Ya dengan adanya kandungan pestisida di tanaman sayuran yang diberikan pada saat proses budidaya tanaman tersebut.


Apa itu Pestisida? Bagaimana bisa hadir dalam kegiatan Pertanian? Dan apa dampaknya bagi kesehatan?

Pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme pengganggu. Nama ini berasal dari pest (“hama“) yang diberi akhiran -cide(“pembasmi”). Sasarannya bermacam-macam, seperti serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan, atau mikroba yang dianggap mengganggu. Dalam bahasa sehari-hari, pestisida seringkali disebut sebagai “racun”.
Pestisida hadir diprakarsai oleh adanya revolusi hijau. Revolusi hijau atau revolusi agraria yaitu suatu perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Gagasan tentang revolusi hijau bermula dari hasil penelitian dan tulisan Thomas Robert Malthus (1766 – 1834) yang berpendapat bahwa “Kemiskinan dan kemelaratan adalah masalah yang dihadapi manusia yang disebabkan oleh tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan peningkatan produksi pertanian. Pertumbuhan penduduk sangat cepat dihitung dengan deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, dst.) sedangkan peningkatan produksi pertanian dihitung dengan deret hitung (1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dst.)”. 

Perkembangan Revolusi hijau dimulai sejak berakhirnya PD I yang berakibat hancurnya lahan pertanian. Penelitian disponsori oleh Ford and Rockefeller Foundation di Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. IMWIC (International Maize and Wheat Improvement Centre) merupakan pusat penelitian di Meksiko. Sedangkan di Filipina, IRRI (International Rice Research Institute) berhasil mengembangkan bibit padi baru yang produktif yang disebut padi ajaib atau padi IR-8. Pada tahun 1970 dibentuk CGIAR (Consultative Group for International Agriculture Research) yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada berbagai pusat penelitian international. Pada tahun 1970 juga, Norman Borlang Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia 133 mendapatkan hadiah nobel karena gagasannya mencetuskan revolusi hijau dengan mencari jenis tanaman biji-bijian yang bentuknya cocok untuk mengubah energi surya menjadi karbohidrat pada tanah yang diolah menjadi subur dengan tanaman yang tahan terhadap hama penyakit.
Upaya meningkatkan produktivitas pertanian antara lain dengan cara sebagai berikut.
A. Pembukaan areal pertanian dengan pengolahan tanah.
B. Mekanisme pertanian dengan penggunaan alat-alat pertanian modern seperti bajak dan mesin          penggiling.
C.  Penggunaan pupuk-pupuk baru.
D. Penggunaan metode yang tepat untuk memberantas hama, misalnya dengan alat penyemprot hama, penggunaan pestisida, herbisida, dan fungisida.
Revolusi  Hijau di Indonesia di mulai sejak berlakunya UU Agraria pada tahun 1870 yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial  Belanda, sehingga di Indonesia dapat dikembangkan berbagai jenis tanaman. Dalam perkembangan kemudian , pada masa Orde Baru, program Revolusi  Hijau digunakan  sebagai  salah satu cara untuk meningkatkan produksi  pangan di Indonesia, terutama produksi beras. Revolusi Hijau ini dilaksanakan sebagai secara sistematis, terprogram,  dan terus –menerus sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan.

Kebijakan modernisasi pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru, yang sering dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau merupakan proses memodernisasikan pertanian gaya lama menjadi pertanian gaya modern dengan melakukan pengembangan bibit unggul jenis IR dari IRRI. Hal ini telah mengubah pola pertanian subsistensi menuju pertanian berbasis kapital dan komersial masyarakat Indonesia. 

Pestisida merupakan salah satu produk dari kebijakan revolusi hijau, sesuai dengan tujuannya untuk memberantas hama dalam peningkatkan produktivitas hasil-hasil pertanian. Dengan penggunaan pestisida dalam memberantas hama memang sangat efektif karena tidak memerlukan waktu yang lama dan mudah didapatkan oleh petani. Namun dibalik semua itu pestisida merupakan salah bentuk industrialisasi di bidang pertanian ala kapitalis. Menurut Suwanto (1994), kondisi pertanian di Indonesia di masa mendatang banyak yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah satu bentuknya akan mengarah pada pola pertanian yang makin monokultur, baik itu pada pertanian darat maupun akuakultur. sistem monokultur merupakan salah satu propaganda kaum elit dalam hal ini para industri-industri yang bergerak dalam penyediaan benih, seperti contohnya padi. Dengan melakukan standarisasi terhadap benih-benih unggul yang membuat para petani konvensional tidak mampu bersaing dalam hal penyediaan benih. Sehingga petani memiliki ketergantungan terhadap benih yang telah disediakan oleh industri.

Dari sistem inilah memunculkan banyak permasalahan dalam kegiatan pertanian yang salah satunya melimpahnya hama tanaman disebabkan karena tersedianya makanan sepanjang musim. Dari permasalahan ini muncullah produk-produk untuk membasmi hama tersebut yaitu pestisida. Dari pestisida memunculkan berbagai macam penyakit akibat residu. 

Namun petani para petani tidak memikirkan dampak negatif yang diakibatkan  oleh pestisida itu sendiri. Menurut World Health Organization (WHO), paling tidak 20.000 orang per tahun, mati akibat keracunan pestisida. Diperkirakan 5.000 – 10.000 orang per tahun mengalami dampak yang sangat fatal, seperti mengalami penyakit kanker, cacat tubuh, kemandulan dan penyakit liver. Tragedi Bhopal di India pada bulan Desember 1984 merupakan peringatan keras untuk produksi pestisida sintesis. Saat itu, bahan kimia metil isosianat telah bocor dari pabrik Union Carbide yang memproduksi pestisida sintesis (Sevin). Tragedi itu menewaskan lebih dari 2.000 orang dan mengakibatkan lebih dari 50.000 orang dirawat akibat keracunan. Kejadian ini merupakan musibah terburuk dalam sejarah produksi  pestisida sintesis.

Dari penjelasan diatas untuk mengatasi hal tersebut, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengubah paradigma tersebut menjadi pertanian yang berkelanjutan. Beberapa model tentang sistem pertanian yang berkelanjutan yang ditawarkan oleh Salikin (2003) dalam bukunya yang berjudul “Sistem Pertanian Berkelanjutan” yaitu (1) Sistem Pertanian Organik,  konsep sistem pertanian organik sudah sering dibahas pada berbagai pertemuan ilmiah, misalnya seminar, lokakarya dan sarahsehan yang menggunakan tajuk pertanian organik atau pertanian ramah lingkungan. Secara teoritis banyak pakar pertanian ataupun ekologi yang sepaham bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu alternatif solusi atas kegagalan sistem pertanian industrial. (2) Sistem Pertanian Terpadu, menurut Wididana (1996), salah satu  model sistem pertanian yaitu sistem pertanian konvensional, sistem pertanian konvensional misalnya tumpang sari antara tanaman jagung dan tanaman kedelai, dimana dengan adanya sistem ini maka salah satu manfaatnya adalah ketersediaan tanaman bagi organisme pengganggu tanaman kecil. (3) Sistem Pertanian Masukan Luar Rendah, Reinjntjes et. all. (1999) dalam bukunya yang berjudul “Pertanian Masa Depan” secara lugas membahas pertanian dengan menggunakan input luar rendah. Metode yang digunakan dalam sistem ini yaitu optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal yang ada dengan mengombinasikan berbagai macam komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman ternak, ikan, tanah, air iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. (4) Sistem Pengendalian Hama Terpadu, sistem pengendalian hama terapadu menggunakan pendekatan komprehensif, menggunakan prinsip-prinsip ekologi, dan mengintegrasikan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel sehingga kondisi populasi hama selalu berada dalam tingkat yang tidak merugikan secara ekonomis, sekaligus dapat mempertahankan kelestarian lingkungan hidup serta menguntungkan bagi petani.

Lalu dimana peran mahasiswa menanggapi hal tesebut? Salah satunya dengan memberikan pemahaman dan melakukan praktik langsung kepada para petani bagaimana cara bertani yang baik dan mempunyai dampak positf di segala sektor, yaitu kelestarian lingkungan, ekonomi dan kesehatan.

   
   


Continue Reading...

Senin, 08 Mei 2017

Senyapnya Revolusi Hijau Tapi Ternyata Tidak !

Sekolah Menulis - Muhammad Ikram

Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang berada di Kawasan Asia Tenggara. Sebagai negara yang dikenal sebagai penghasil produk pertanian tentunya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Kebutuhan pangan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi kehidupan suatu masyarakat. Akan tetapi, dewasa ini ketahanan pangan menjadi suatu masalah yang dapat dikatakan serius bagi Indonesia.
Persoalan pangan bagi bangsa indonesia, dan juga bangsa-bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan persoalan yang sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu bangsa. Ketergantungan pangan dapat berarti terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik negara lain maupun kekuatan–kekuatan ekonomi lainnya. Seperti yang di riakkan oleh sang revolusioner kita, soekarno yang mengatakan bahwa berbicara pangan, pertanian adalah tentang hidup dan mati.
Dari persoalan itu tentunya Hal ini tidak lepas dari praktik liberalisasi pangan yang pastinya memberikan kesenjangan bagi masyarakat khususnya petani dalam masalah pendapatan. Berikut bagaimna polemik-polemik yang dihadirkan dari praktik  Liberalisasi sektor pertanian yang tidak jauh dari sistem yang berlaku pada Kebijakan modernisasi pertanian di Indonesia pada masa Orde Baru, yang sering dikenal dengan sebutan Revolusi Hijau yang merupakan proses memodernisasikan pertanian gaya lama menjadi pertanian gaya modern dengan melakukan pengembangan subsidi pada pestisida. Hal ini telah mengubah pola pertanian subsistensi menuju pertanian berbasis kapital dan komersial.
Harus kita pahami bahwa Konsep Revolusi Hijau di Indonesia hadir karena munculnya masalah kemiskinan yang disebabkan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat tidak sebanding dengan peningkatan produksi pangan. gebrakan Revolusi hijau ini memberikan pertimbangan pada pemulihan produktivitas sumber daya pertanian yang kritis dengan cara merehabilitasi dan diversifikasi pertanian.
Di Indonesia sendiri penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah salah satu Negara  berkembang dan Negara Agraris yang sebagian penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Untuk meningkatkan hasil pertanian yang ingin dicapai maka diperlukan berbagai sarana yang mendukung agar dapat mencapai hasil yang memuaskan. Salah satunya dengan pemakaian pestisida. Dalam bidang pertanian pestisida merupakan sarana untuk membunuh hama-hama tanaman. Penggunaannya yang sesuai aturan dan dengan cara yang tepat adalah hal mutlak yang harus dilakukan mengingat bahwa pestisida adalah bahan yang beracun. Penggunaan bahan-bahan kimia pertanian seperti pestisida tersebut dapat membahayakan kehidupan manusia.
Kondisi hari ini menjawab bahwa penggunaan pestisida sebagai salah satu interpretasi dari system revolusi hijau sendiri ini nyatanya juga menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia. Sama halnya, Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan.Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota  bukan sasaran.
Penggunaan pestisida sangat berdampak terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Setiap hari ribuan petani dan para pekerja di pertanian diracuni oleh pestisida dan setiap tahun diperkirakan jutaan orang yang terlibat dipertanian menderita keracunan akibat penggunaan pestisida. Dalam beberapa kasus keracunan pestisida langsung, petani dan para pekerja di pertanian lainnya terpapar (kontaminasi) pestisida pada proses mencampur dan menyemprotkan pestisida.
Pestisida bisa dikatakan sebagai pencetus timbulnya kanker, tingkat kesuburan menurun dan gangguan dari terhadap sistem kekebalan tubuh. Kebijakan pertanian yang berorientasi pada eksport, membuat semakin gencarnya dibuka lahan-lahan perkebunan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta yang sangat tergantung dengan penggunaan pestisida, buruh perkebunan dan masyarakat tinggal di sekitar juga beresiko tinggi terpapar oleh pestisida. Pemilik perkebunan dan perusahaan pestisida hanya memikirkan sudah berapa banyak laba dan keuntungan yang diperoleh, tetapi tidak memikirkan dampak buruk terhadap kesehatan dan kehancuran lingkungan ketika pestisida disemprotkan. Sebut saja salah satu dampak yang ditimbulkan dari penggunaan dari pestisida yaitu pada sistem pernafasan dimana Efek jangka panjang akan terjadi secara terus-menerus yang menyebabkan iritasi (menyebabkan bronkhitis atau pneumonitis). Pada kejadian luka bakar, bahan kimia dalam paru-paru yang dapat menyebabkan udema pulmoner (paru-paru berisi air), dan dapat berakibat fatal.
Gebrakan revolusi hijau ternyata masih menyimpang tanda Tanya bagi masyarakat Indonesia dibalik  alih-alih ingin menciptakan modernisasi dengan lafas ingin memberikan kesejahteraan pada kaum tani namun dibalik tujuan itu masih ada saja politik praktis yang ada. Praktik liberalisasi yang sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia dalam konteks revolusi hijau ternyata memiliki dampak negatif sebut saja produk pada penggunaan pestisida sebagai salah satu interpretasi dari sistem revolusi hijau sendiri ini nyatanya juga menimbulkan dampak bagi kesehatan manusia. Dari problematika tersebut tentunya itu menjadi bahan refleksi kita sebagai orang-orang yang akan memproyeksikan gebrakan dari setiap sistem yang mencoba memprivatisasi. Dan Yang juga pastinya akan berkaitan pada sistem kesehatan kita pada saat kita mengkonsumsi hasil dari analisis pada  penggunaan pestisida yang juga merupakan bagian dari kajian revolusi hijau
Continue Reading...

Kamis, 04 Mei 2017

INJEKSI PRAKTIK NEOLIBERALISME DALAM PERTANIAN

Oleh: Andi Rahmansyah

          Kebutuhan akan pangan terlebih beras merupakan hal yang paling urgen dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, bahwa Indonesia merupakan Negara agraris yang pada hakikatnya kuat dalam ketahanan pangan bagi rakyatnya. Menurut hasil sensus dari Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237.641.334 jiwa. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 2000, yakni 206.264.595 jiwa, ini adalah sebuah peningkatan sebanyak 31.376.831 jiwa (15,37% dalam 10 tahun atau rata-rata 1,54% per tahun). Jumlah penduduk tersebut menyatakan pesatnya pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut di atas banyak pertanyaan yang muncul, mulai dari ketahanan pangan yang masih menjadi pertanyaan besar, apakah masih mecukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakat Indonesia ? Hingga metode pemerintah dalam mempertahankan kecukupan pangan yang ada di Indonesia, masihkah kita dalam rana swasembada pangan? Atau sudah bergantung pada produksi dari Negara asing.
            Kondisi saat ini menyatakan bahwa dari 237.641.334 jiwa masyarakat Indonesia, hanya sekitar 80% yang aktif mengonsumsi beras layak makan. Sisanya masih berjuang untuk mencukupi kehidupannya meskipun harus mengonsumsi makanan yang tidak layak makan. Tapi jika dilihat dari kebutuhannya, masyarakat indonesia termasuk konsumen yang cukup banyak membuang atau menyisakan makanan termasuk nasi. Contoh kecil yang bisa kita ambil adalah kebiasaan orang Indonesia makan tiga kali dalam sehari. Menurut hasil riset yang dilakuakan oleh BEM KEMA FAPERTA UH menyatakan bahwa dalam 1 kilogram beras terdapat sekitar 50.000 butir beras dan 250 butir dalam satu genggam orang dewasa. Jika kita lihat dari kebiasaan buruk masyarakat Indonesia yang biasanya menyisakan nasi dalam sekali makan, dalam perhitungan kasarnya dapat dikatakan ada sekitar 19 ton beras yang terbuang dalam sehari di Indonesia. Berbanding terbalik dengan kebutuhan beras untuk masyarakat ekonomi ke bawah yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja harus membanting tulang dan menghabiskan waktunya untuk terus bekerja.
       Petani merupakan profesi yang kebanyakan termasuk dalam kalangan masyarakat dengan ekonomi rendah. Hal ini memicu keinginan dari para petani untuk terus meningkatkan produksi dalam usaha peningkatan ekonomi di kehidupannya. Semua ini sepertinya sudah membudaya seperti yang terjadi pada masa sebelumnya yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto tepatnya pada awal pemerintahannya yang pada saat itu diberlakukan UU PMA No. 1 Tahun 1966, dan menjadi pintu masuk neoliberalisasi di sektor perekonomian Indonesia saat itu. Hal ini didasari oleh konstruk Negara adidaya pada saat itu yang berdalil bahwa Negara dunia ke 3 merupakan Negara berkembang yang membutuhkan bantuan dalam pembangunannya agar menjadi Negara yang maju. Berangkat dari hal tersebut, akhirnya Presiden menjabat pada saat itu menyatakan untuk membuka pintu sebesar-besarnya kepada investor dan korporat asing untuk membuka lapaknya di Indonesia. Salah satu prongram yang paling berpengaruh terhadap perkembangan neoliberalisasi di Indonesia adalah green revolution atau yang kita kenal sebagai Revolusi Hijau. Di era revolusi hijau pemerintah berusaha meningkatkan produksinya, salah satu metodenya yaitu melakukan kerja sama dengan pihak asing, dalam hal ini perusahaan asing yang memroduksi pupuk dan pestisida kimia. Seiring waktu berjalan, pupuk dan pestisida ini sudah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terlepas dari produksi pada saat itu, sehingga pihak asing bisa memonopoli perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari subsidi yang setiap tahunnya semakin berkurang dan menyebabkan masalah perekonomian petani saat itu. Hal ini terjadi karena bayaknya utang Indonesia pada saat itu sehingga subsidi yang pada awalnya memenuhi target, akhirnya digunakan untuk membayar utang pada Negara asing yang menjadi rekan bisnis dari Negara saat itu Dari hal tersebut, akhirnya investor asing terus memperluas jangkauan usahanya di Indonesia dan sudah menjadi kebutuhan masyarakat tani hingga saat ini.
       Penggunaan pupuk dan pestisida kimia sendiri sudah  merupakan sebuah hal yang menjadi budaya kaum tani untuk meningkatkan produksinya meskipun dengan dosis yang tinggi dan tak memperhatikan bahanya bagi kesehatan para konsumen. Berangkat dari hal tersebut, petani tidak mau menggunakan pupuk organik ataupun petisida nabati karena efeknya yang sangat lambat, dan lebih memilih menggunakan pestisida kimia yang belum jelas kelayakan dan hasil uji cobanya.
         Jika dilihat dari konsumsi beras di Indonesia, rata-rata masyarakat hanya memperhatikan merk dan tekstur berasnya saja dan melupakan kandungan di dalamnya. Penggunaan pestisida yang dianggap tidak terlalu penting bagi konsumen akhirnya membuat ancaman bagi kesehatan konsumen semakin besar. Pestisida sendiri digolongkan menjadi 2 yaitu pestisida kontak dan pestisida sistemik. Pestisida kontak dapat menyebabkan iritasi atau panyakit pada kulit saat bersentuhan langsung dengan kulit di seluruh tubuh, berbeda dengan pestisida sistemik yang jika digunakan secara berlebihan pada tanaman yang kita konsumsi dapat merusak organ dalam seperti ginjal, hati, dan usus. Selain itu aroma dari beberapa pestisida dapat menyebabkan mual, pusing, hingga sakit kepala. Dalam penggunaannya pestisida biasanya digunakan pada tanaman hortikultura dan pangan, yang pada dasarnya tanaman hortikultura dikonsumsi langsung atau tanpa pengolahan seperti tanaman pangan. Bisa kita lihat, jika dikonsumsi dengan pengolahan sebelumnya saja sudah berbahaya bagaimana dengan konsumsi langsung?. Memang sangat miris melihat kondisi saat ini apalagi karena ketergantungan kita terhadap beras itu sendiri.
        Selain dampak langsung yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida secara berlebih, terdapat dampak tidak langsung yang disebabkan oleh limbah pestisida yang biasanya hanya dihanyutkan ke sungai oleh para petani. Menurut buku karanagan Rachel Carson, Silent Spring menyatakan bahwa pestisida yang dihanyutkan ke sungai akan dimakan oleh plankton yang berikutnya mengalir menuju laut dan dimakan oleh ikan kecil yang merupakan makanan untuk ikan yang lebih besar dan seterusnya hingga ikan yang akhirnya ditangkap oleh manusia. Bisa kita bayangkan bagaimana jika seekor ikan memakan seratus ekor ikan kecil yang menelan plankton yang telah menkonsumsi pestisida kimia yang sudah digunakan.
      Jika kita berpikir untuk mengubah pandanagan petani tentang pestisida kimia, mungkin akan sanagat sulit. Salah satu sifat petani yang biasanya saya temukan di lapangan adalah tidak mempercayai sesuatu yang besifat teori tapi lebih kepada praktiknya langsung, sehingga sosialisasi tanpa aplikasi di lapangan tidak akan berarti apa-apa. Solusi yang bisa kita tawarkan pada petani adalah dengan penerapan sustenable agriculture atau Pertanian berkelanjutan yang pengablikasiannya menggunakan pupuk organic cair (POC) dan bio fertilizer. Jika dilihat dari efeknya mungkin akan cukup menyaingi hasil yang ditawarkan oleh pestisida kimia. Dalam hal ini, kita hanya mencoba untuk menghilangkan ketergantungan petani terhadap pestisida sintetik dan kembali kepada pertanian yang sehat dan ramah lingkungan

Salam Perjuangan, Salam Pergerakan, Dan Salam Anti Penindasan
Jayalah Dikau Jaya Pertanian Tercinta




Continue Reading...