Rabu, 29 Maret 2017

AKU MULAI PUDAR (Edisi Hari Pohon)

Oleh : Alifah Nurkhairina

Siang ini aku masih disini. Diwaktu yang sama setiap harinya, kita bertemu kembali. Tiada pemandangan terindah melainkan melihat kau dan teman sebayamu tengah asyik tertawa lepas. Tiada hal yang paling menakjubkan yang pernah ku pandang saat kalian tengah mengocek bola dihijaunya alas di hamparan lapang yang engkau pijak. Bermain sesukanya. Aku tertawa, Dan siang itu diteriknya sang surya, aku meneduhkan mu erat.
Hari terus berganti, teknologipun semakin canggih. Semakin lama, aku merasa kalian tak lagi bersahabat dengan ku. Apa karena aku sudah mulai tua dan lemah? Atau beberapa alat modern telah mencuri perhatianmu? Semakin hari semakin sedikit kalian yang datang mengunjungiku. Anak-anak lain juga sudah mulai punah di lapang itu. Aku mulai sedih. Tak ada lagi yang berminat menjadikanku teman. Tak kalah sedih saat aku melihat teman-teman sekitarku pun mulai menghilang. Menyisakan sebidang tanah kosong yang tandus. Aku berfikir mungkin disini nantinya kalian akan bermain? Ah aku senang, kita lebih dekat. Aku tidak sabar menantinya.
Tapi kalian yang kutunggu tak jua datang. Sebagian dari kalian bahkan sudah berani merusakku. Menancapkan luka di tubuhku. Menggores sesuatu yang kubenci. Aku mulai menua dan tak terawat. Kuliat lagi lapang yang luas, tempat yang disediakan untuk kalian bermain nantinya. Namun hingga kini tak ada permainan, hanya gedung setengah jadi dan beberapa material bangunan yang berserakan.
Aku bingung, kemana kalian semua. Aku fikir kalian tak lagi ingin berkawan denganku. Kini aku terancam musnah. Yang kutakutkan aku tak bisa lagi membantumu melanjutkan hidup. Sebagian dariku mungkin akan hilang. Dan hal lain yang membuatku takut, saat generasimu kelak tak pernah mengenal tentangku. Jangan pergi, tolong selamatkan aku :(

#SAVEPOHON
#SAVEHUTAN
#HARIHUTANSEDUNIA
Continue Reading...

INDUSTRIALISASI PENDIDIKAN

Nurul Amri - Pendidikan sejatinya "mencerdaskan kehidupan bangsa" sesuai yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea  ke-4. Dimana pendidikan adalah hak semua warga negara, tanpa melihat status sosial mereka.
Namun realitas yang kita lihat sekarang nampaknya pengaktualisasian dari alinea ke-4 ini masih menjadi tanda tanya besar bagi kita semua. Hal yang paling ganjil sekarang adalah bahwa PTN (baca: UNHAS) sekarang sudah menjadi kampus yang menjadi berbadan hukum. Dimana dalam hal ini kampus di haruskan untuk menjadi otonom dalam hal keuangan. Dalam kasus ini PTN diharuskan untuk mencari dana sendiri untuk membiayai proses pengelolaan pendidikannya (Biaya BOPTN dikurangi dan kampus akan mencari uang sendiri)
Penerapan Undang undang pendidikan tinggi No. 12 tahun 2012 menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa. Secara legal UUPT ini menjadi payung hukum bagi beberapa kebijakan yang dianggap bertentanangan dengan cita cita bangsa indonesia. Salah satu kebijakan yang menjadi turunan dalam undang undang ini adalah kebijakan UKT dan juga PTNBH. Adanya UUPT dan segala turunannya ini akan membuat Negara perlahan akan lepas tangan dalam hal pendidikan. Salah satu contohnya adalah kampus akan mencari keuntungan (uang) secara mandiri seperti yang dialami oleh beberapa kampus yang lebih dulu ber-PTNBH. Contohnya adalah UI, dimana dalam kampus tersebut kita akan sangat mudah menemukan beberapa perusahaan yang beroperasi didalamnnya.
Penerapan sistem UKT adalah salah satu bentuk nyata yang pelepasan tanggung jawab negara. Logika yang digunakan birokrasi adalah, yang kaya  mensubsidi yang miskin begitu pula sebaiknya. Lalu kalau demikian apa yang disubsidi oleh pemerintah ? Dengan adanya sistem UKT ini mahasiswa seakan di kekang dalam menuntut ilmu di bangku perkuliahan, bagimana tidak, mahasiswa yang mendapat UKT 4 akan berusaha secepat mungkin untuk memperoleh gelar sarjananya. Jelas jika hal ini terjadi maka secara tidak langsung mahasiswa-mahasiswa kritis lambat laun akan hilang dari kampus dan pergerakan mahasiswa akan redup. tentu ini akan menjadi masalah besar dimana birokrat dengan leluasanya meng-Industrialisasi pendidikan. Dimana para kaum kapitalis akan bebas menanamkan modalnya di kampus. jadi jangan heran ketika nantinya di kampus terdapat Hotel dan KFC. Yang salah dari semua ini adalah ketika pendidikan sudah bersinggungan langsung dengan pemodal atau kapital adalah pendidikan akan mengikuti keinginan pendonornya yaitu industri. Kalau hal demikian terjadi maka pendidikan hanya untuk menyiapkan tenaga kerja.
Lalu dimana peran mahasiswa saat ini? Ya, mungkin seperti yang dijelaskan paulo freire dalam bukunya "pendidikan kaum tertindas" hal yang paling ditekankan adalah pembebasan penyadaran para kaum tertindas. Pendidikan bagi kaum tertindas merupakan hasil pengamatan Freire selama enam tahun dalam pengasingan politik. Freire menganalisis peran “penyadaran‟ untuk mewujudkan pendidikan yang membebaskan manusia. Untuk dapat membebaskan diri, kaum tertindas harus terlebih dulu menghilangkan ketakutannya akan kebebasan melalui usaha penyadaran.
    Maka dari itu yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana mahasiswa-mahasiswa yang “apatis” dibukakan ruang penyadaran dengan salah satu jalannya yaitu diskusi seputar masalah-masalah yang sedang terjadi kampus sekarang.
Continue Reading...

Selasa, 14 Maret 2017

Jiwa Mudaku


Alifah Nurkhairina - Mengharap bebas namun selalu terbatas merupakan salah satu hal tersulit yang sering kujumpai. Dari balik jendela itu ku terfokus melihat sebuah kebebasan. Jiwa-jiwa muda yang berhamburan tengah mencicipi masa remajanya.  Seharusnya aku disana. Seharusnya aku melepas tawa di sudut yang kuinginkan. Kali ini aku merasa hilang akal.a


Ini zamanku, dimana remaja sebayaku bebas melakukan hal apa saja yang mereka suka. Tak terkekang dan bebas melayang. Kemanapun dan kapanpun. Menghabiskan panjang hari bersama rekan sahabat. Menghancurkan deras malam di titik manapun mereka suka. Bersenang-senang dengan cara mereka. Cara unik bahkan cara yang paling tidak rasional sekalipun.


Ini masaku, dimana pemudi-pemudi lain bebas mengekspresikan segala hal. Bebas membagi kesehariannya lewat sebuah telpon genggam. Menceritakan segala hal bahkan sesuatu yang bersifat pribadipun menjadi santapan orang banyak, apapun yang penting dunia harus tau!


Ini suatu batasan yang cukup mengganggu. Terkadang saya ingin menjadi mereka. Menjadi seseorang yang tumbuh di dunia luar yang kuharapkan. Menjadi kartini muda yang gaul yang dikenal banyak orang karena foto yang dipostnya menjadi viral, atau mengabarkan keseharianku lewat video singkat yang ku bagikan secara gratis kepada mereka yang tak ku kenal. Terkadang saya ingin bebas lepas. Pergi ke tempat yang hitz dan menghabiskan uang yang kupunya demi suasana kedai yang nyaman dan segelas kopi yang nikmatnya sesaat. Membeli aneka macam baju yang brandnya oke punya. Terkadang saya iri melihat sebayaku bebas bergaul dengan siapa saja tanpa batas tak ada larangan dari sudut pandang manapun. Menjalin hubungan dengan pria yang dicintainya. Membiarkan orang lain melihat rambut indahnya, dan bebas berpakaian sesuka hati. terkadang ingin itu mengusikku selalu.


Lalu apa selanjutnya? kenapa aku tidak membuka pintu lalu menghampiri mereka? Itu sangat mudah. Lalu pergilah kutemui kebahagiaan yang selama ini ku dambakan?


Namun, kurasa tidak. Aku masih punya keluarga. Masih ada orang tua yang membutuhkan ku. Masih ada kepercayaan dari mereka yang masih ku genggam. Selama ini aku salah, kebahagiaan dengan menghabiskan waktu dan biaya yang banyak bukan suatu bentuk membunuh lelah dan berjumpa bebas. Aku tau betul bagaimana mereka banting tulang demi rupiah-rupiah yang dicarinya. Aku tau betul jam berapa mereka harus keluar untuk menjemput rezeki. Aku tau betul bagaimana pengorbanannya sampai saya ini bisa menulis seperti ini. Aku tau betul baju dan bagaimana mereka sampai di tempat kerjanya. Aku tau betul di lingkungan mana mereka habiskan hari kerja. Namun, ada sesuatu yang tak pernah aku tau. Yaitu bagaimana mereka mengeluh dengan lelah yang selama ini mereka sembunyikan, sungguh aku tak pernah tau itu.


Ketahuilah sampai ku temukan jawaban dari semua pengharapan, inilah masaku. Menghabiskan waktu muda ku bersama keluarga. Hal yang tidak dapat terbayarkan oleh apapun. Menghabiskan malam dengan candaan hangat mengingat sesuatu yang telah lalu. Inilah masaku, dengan tidak menambah beban mereka atas pergerakan kecilku yang akan mengganggu batinnya. Aku masih tanggungannya. Aurat yang kubiarkan terbuka menjadi tanggungan dosa Ayahku. Sifat dan sikapku mencerminkan bagaimana mereka mendidikku. Dan inilah masaku menjaga mereka sampai habis sanggupku..


Tampak gerimis telah datang. Hal itu ku ketahui dari basahnya tepi jalan yang terus kuperhatikan dengan tatapan kosong. Teringat lagi kepada mereka. Dimana mereka? Apa mereka kehujanan? Bagaimana mereka melawan dingin? :(


Jangan pernah lepaskan ku tanpa bekal doa dan restumu Ayah, Mama.... Sang pemilik senyum peneduh resah dimana pun ku berada.


Wahai kawulah muda, mari berpikir lagi. Mari mengingat untuk tidak menghabiskan masa muda kita dengan hal yang sia-sia. Saya lebih memilih menjadi terasing daripada harus meninggalkan mereka di rumah. Mari mengembangkan potensi diri. Jangan takut menolak untuk hal yang tidak penting. Masa muda jauh lebih indah saat kau mampu berbakti kepadanya. Mari bahagiakan mereka sesuai harapnya. Menjadi sosok yang membanggakan dan bermanfaat jauh lebih mulia :) Jadilah pemuda yang menyenangkan.



alifahnurkhairinaa.blogspot.com

Bulukumba, 11 Desember 2016 12.12 WITA

Continue Reading...

Minggu, 05 Maret 2017

pendidikan tinggi Vs kaderisasi


Muhammad Ikram - Mengawali tulisan ini dengan perkataan aristoteles di dalam bukunya yang berjudul “La Politic” bahwa setiap imperium yang tidak mampu memberikan pendidikan bagi generasi berikutnya maka tunggu saja waktunya imperium itu akan mengalami masa kehancuran. Begitu pentingnya pendidikan sehingga apabila kita berbicara pendidikan maka sama pentingnya dengan membicarakan keberlangsungan organisasi, imperium atau bentuk kumpulan manusia apa pun.

Ketika membahas sejarah berdirinya perguruan tinggi lengkap dengan keberadaan ‘siswa besar’ sebagai penghuninya adalah wajah alienasi pendidikan itu sendiri. Itu mengapa persoalan-persoalan yang dihadapi pelajar di perguruan tinggi seperti kebijakan kampus, kurikulum, rendahnya kapasitas dan kapabilitas mahasiswa, tidak bisa dipandang sebagai peristiwa aktual. Cara analisis tersebut justru menjauhkan pendidikan tinggi dari basis historis dan basis filosofis yang justru sangat penting kita ketahui  agar kita dapat memahami akar persoalan dirana perguruan tinggi. Permasalahan-permasalahan tersebut mesti dilihat dalam konteks historis bagaimana pendidikan berakar, dikreasikan, dijalankan dan berproses hingga saat ini.

representatif mahasiswa sebagai kaum terpelajar melahirkan konsekuensi sosial yang secara moral melegalisir posisinya sebagai ‘kelas’ baru dalam masyarakat. Untuk membenarkan hal tersebut, maka lahirnya pelabelan-pelabelan dengan tendesi heroisme seperti ‘agen perubahan’, ‘harapan nusa dan bangsa’, ‘kaum terdidik’ dan masih banyak yang lain. Selain sangat herois, label-label tersebut justru merupakan catatan historis kekalahan mahasiswa di universitas dalam mendefinisikan posisi kelasnya dalam masyarakat. Hal itu menjadi sebuah kelemahan ketika mereka tak pernah tersentuh dalam rana kaderisasi yang notabenenya ingin membentuk jiwa yang lebih kritis dan mampu menganalisis segala dinamika pendidikan tinggi. stigma yang hadir menjadi hal yang ironis ketika kita kembali mendefiniskan sejatinya mahasiswa itu yang seperti apa yang dinginkan oleh para leluhur pendidik.

Berbicara mengenai urgensi dalam rana kaderisasi sangat penting ketika kita benturkan dalam proses pengembangan regenerasi kritis dilingkup perguruan tinggi. Namun yang lagi-lagi menjadi dinamika ketika adanya doktrinasi untuk menjadi produk-produk orde yang dinilai secara konsepsi didalam Sistem pendidikan berbasis penelitian, dimana hasil-hasil riset pun turut menjadi salah satu produk kampus yang bakal laku keras di pasaran.


Konsepsi ini merupakan hasil privatisasi dan korporatisasi kampus yang pada akhirnya bertransformasi menjadi perusahaan yang bergerak dalam industri pendidikan. Ketika itu terjadi maka pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun untuk memenuhi tanaga kerja murah bagi para kapitalis yang menanamkan modalnya.

Kegalauan terhadap dunia pendidikan kita memang penting. Kegalauan itu mengandung sifat yang reformis. Namun ia perlu diasah agar menjadi revolusioner. Yaitu dengan mendorong kegalauan tersebut ke level yang lebih radikal dan holistik. Menggunakan pembacaan yang historis dan dialektik terhadap kegalauan tersebut, akan jauh lebih bermanfaat untuk memperkaya diskursus kritis kita terhadap kondisi pendidikan hari ini.
Continue Reading...