Tahun lalu,
Mahasiswa Unhas terkhusus lembaga kemahasiswaannya protes kepada pihak
Universitas Hasanuddin terhadap surat keputusan rektor tentang organisasi
kemahasiswaan yang dinilai substansinya dapat dibilang mengekang dan membuat
organisasi kemahasiswaan tidak mendapat kedaulatan organisasinya secara penuh.
Surat keputusan
rektor tersebut merupakan peraturan yang didasarkan pada pasal 49 ayat (4)
Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2015 tentang statuta Universitas Hasanuddin,
dimana organisasi kemahasiswaan yang kemudian disingkat ormawa diatur dalam
Peraturan Rektor. Hal ini menjadi sesuatu yang dibuat atas hak otonomi unhas
sebagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), padahal sebelumnya telah
diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No.
155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Setelah beredarnya rancangan SK tersebut terdapat beberapa poin yang disoroti
dan mengancam eksistensi dari ormawa di Unhas.
Organisasi
kemahasiswaan Universitas Hasanuddin mengambil langkah dialog dengan pihak
birokrat sebagai metode protes mereka dan menawarkan draf tandingan sebagai
pengganti rancangan SK rektor terkait ormawa Unhas. Hal ini mendapatkan pujian
dan sambutan dari wakil rektor bidang kemahasiswaan yang menganggap mahasiswa
seharusnya menempuh jalur diplomasi seperti ini daripada hanya protes saja dan
dia berjanji akan melibatkan mahasiswa dalam memformulasikan peraturan ormawa
tersebut. Namun, satu tahun berselang tiba-tiba pengesahan SK rektor tentang
organisasi kemahasiswaan telah resmi tanpa adanya keterlibatan mahasiswa, dan
pasal-pasal yang dianggap bermasalah sebelumnya tidak mengalami perubahan yang
signifikan bahkan tidak berubah sama sekali.
Berikut beberapa pasal yang dianggap bermasalah
tersebut adalah :
Pasal 2 ayat (2)
“Organisasi
Kemahasiswaan tidak berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus, partai
politik, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”
Bunyi pasal ini
seakan-akan mengatur organisasi kemahasiswaan Unhas untuk beraktifitas hanya
sebatas ranah kampus yang juga bertendensi menghalangi masuknya arus kebudayaan
yang bertentangan dengan kampus namun belum tentu tidak membawa kemajuan dan
membentuk lingkungan kampus yang progresif. Organisasi kemahasiswaan seharusnya
bebas berafiliasi dengan organisasi manapun yang dianggap memiliki landasan
ideasional yang sama. Ketidakjelasan dalam redaksi organisasi ekstra kampus
yang tersebut dalam SK rektor ini menimbulkan banyak terkaan dan penafsiran
yang keliru. Ayat ini secara tidak langsung melarang organisasi kemahasiswaan
berafiliasi dengan organisasi yang dapat menunjang basis keilmuan dan basis
massa layaknya fakultas pertanian, peternakan, kehutanan, dan FIKP bekerja sama
dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) guna pembasisan ilmu dan basis massa
dalam menyatakan sikap atas realitas sosial.
Pasal 4 ayat (1) poin a dan b
“Organisasi
kemahasiswaan program sarjana ditingkat universitas adalah:
Badan Eksekutif mahasiswa Universitas (BEM
Universitas)
Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPM
Universitas)
Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM
Universitas)”
Menanggapi dari
2 poin yang terdapat dalam pasal ini lembaga kemahasiswaan di Unhas sepakat
belum memerlukan adanya BEM Universitas sebagaimana yang ingin dibentuk oleh
pihak Universitas karena perlunya perwakilan suara mahasiswa dalam majelis wali
amanat. Lembaga kemahasiswaan di Unhas memiliki metode lain untuk mengisi
perwakilan itu yang biasanya dalam bentuk pendelegasian dari masing-masing
lembaga atau langsung dari ketua lembaga masing-masing, dan jika terbentuk BEM
Universitas ini yang otomatis akan adanya jalur komando antara BEM Universitas
dan Lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas, dan akan bersinggungan dengan
beberapa lembaga kemahasiswaan yang mengatur dalam AD/ART bahwa organisasinya
berotonomi penuh atas lembaganya.
Pasal 8 ayat
ayat (2)
“Pengesahan
dapat dilakukan apabila pengurus organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyerahkan susunan pengurus dan AD dan ART.”
Pasal ini
mengharuskan setiap kepengurusan ormawa mendapat pengesahan dari pihak
birokrasi kampus sebagaimana bunyi pasal tersebut. Pasal ini dinggap bermasalah
karena muatannya yang bersifat tendensius. Pengesahan yang dilakukan oleh pihak
birokrasi seakan tidak menghargai forum tingkat mahasiswa yang dilaksanakan
untuk memilih kepengurusan. Dengan adanya pasal ini, secara tidak langsung akan
melemahkan kedudukan dari ormawa itu sendiri. Masing-masing ormawa telah
memiliki forum tertinggi (misalnya Musyawarah Besar) dalam memilih dan
mengesahkan sebuah kepengurusan. Seharusnya keterlibatan rektor ataupun dekan
hanya sampai pada tahapan mengetahui susunan kepengurusan dalam ormawa dan
tidak berhak mengesahkannya. Serta adanya kontradiksi antara pasal ini dengan
pasal 6 ayat (2) yang berbunyi “AD/ART Organisasi kemahasiswaan disusun dan
disahkan dalam forum pengambilan keputusan tertinggi masing-masing lembaga”.
Forum keputusan tertinggi pada akhirnya hanya menjadi fungsi menyusun AD/ART
belaka dan fungsi pengesahannya tidak akan valid jika ada pasal ini.
Pasal 8 ayat (3)
“Pengesahan
susunan pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan dalam bentuk
keputusan Rektor di tingkat universitas dan keputusan Dekan di tingkat
fakultas/sekolah, dan departemen/program studi.”
Dengan adanya
pasal ini tercium bau intervensi yang ingin dilakukan oleh pihak kampus
terhadap lembaga kemahasiswaan sebagaimana yang tersebut dalam ayat diatas
rektor atau Dekan memiliki wewenang untuk mengesahkan atau menolak susunan
kepengurusan lembaga kemahasiswaan. ini juga bertentangan dengan Keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 155 tahun 1998. Rektor atau dekan tidak
memiliki hak untuk mengintervensi secara langsung seperti itu melihat bahwa
rektor atau dekan tidak mengetahui kondisi lembaga maupun proses dialektika
yang terjadi di masing-masing lembaga kemahasiswaan Unhas. Oleh karena itu,
keterlibatan rektor ataupun dekan hanya sampai pada tahapan mengetahui susunan
kepengurusan dalam ormawa dan tidak berhak dalam mengintervensi (mengesahkan)
konstitusi (AD/ART) ataupun pengurusnya.
Pasal 13 ayat
(2)
“Sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
Teguran tertulis
Penghentian sementara kegiatan
kemahasiswaan
Penghentian sementara organisasi
kemahasiswaan
Pembubaran organisasi kemahasiswaan.”
Bunyi pasal ini
bahwa pada pemberian sanksi untuk organisasi kemahasiswaan didasarkan pada Tata
Tertib Internal Universitas Hasanuddin serta Peraturan Perundang-Undangan.
Namun, Dalam pasal pemberian sanksi ini tidak ada mekanisme pemberian sanksi
yang diatur. Ketidakjelasan dari mekanisme akan mengakibatkan rektor dan/atau
rekan dapat secara semena-mena dalam memberikan sanksi kepada ormawa. Perlu
adanya indikator dalam mekanisme pemberian sanksi kepada ormawa jika melakukan
pelanggaran terhadap kedua peraturan tersebut, jangan sampai mengakibatkan
adanya aturan tambahan tanpa sepengetahuan lembaga. Hal ini tentu saja akan
mengancam eksistensi atau kedudukan dari ormawa, yang akan mengganggu
gerak-geraknya.
Inti dari SK
rektor ini adalah ingin mendikte dan mengintervensi gerakan ormawa yang ada di
universitas sehingga apa yang diinginkan pihak kampus–yang bersifat
otoriter–harus dilakukan, dan hal tersebut dapat kita lihat bahwa tidak adanya
lagi kebebasan (demokratisasi) yang dimiliki ormawa. Berselangnya satu tahun
yang mana pengesahan SK rektor tentang organisasi kemahasiswaan telah resmi tanpa
adanya keterlibatan mahasiswa dan tidak adanya ruang dialektis antara ormawa
dan biroktrat yang lebih lanjut dalam penyusunannya, dari sinilah kita dapat
melihat bahwa hal yang–katanya–bisa diselesaikan melalui ‘diplomasi’ hanyalah
omong kosong belaka. Sudah seharusnya organisasi berotonomi penuh atas
lembaganya namun organisasi kemahasiswaan pun sudah tidak lagi mendapat
kedaulatannya secara penuh.
By : Muhammad Ikram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar