Jumat, 07 Desember 2018

PENGESAHAN KEPUTUSAN REKTOR TENTANG ORGANISASI KEMAHASISWAAN MELALUI PROSES YANG MENEGASIKAN PERAN MAHASISWA

Share it Please

Tahun lalu, Mahasiswa Unhas terkhusus lembaga kemahasiswaannya protes kepada pihak Universitas Hasanuddin terhadap surat keputusan rektor tentang organisasi kemahasiswaan yang dinilai substansinya dapat dibilang mengekang dan membuat organisasi kemahasiswaan tidak mendapat kedaulatan organisasinya secara penuh.
Surat keputusan rektor tersebut merupakan peraturan yang didasarkan pada pasal 49 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2015 tentang statuta Universitas Hasanuddin, dimana organisasi kemahasiswaan yang kemudian disingkat ormawa diatur dalam Peraturan Rektor. Hal ini menjadi sesuatu yang dibuat atas hak otonomi unhas sebagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), padahal sebelumnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Setelah beredarnya rancangan SK tersebut terdapat beberapa poin yang disoroti dan mengancam eksistensi dari ormawa di Unhas.
Organisasi kemahasiswaan Universitas Hasanuddin mengambil langkah dialog dengan pihak birokrat sebagai metode protes mereka dan menawarkan draf tandingan sebagai pengganti rancangan SK rektor terkait ormawa Unhas. Hal ini mendapatkan pujian dan sambutan dari wakil rektor bidang kemahasiswaan yang menganggap mahasiswa seharusnya menempuh jalur diplomasi seperti ini daripada hanya protes saja dan dia berjanji akan melibatkan mahasiswa dalam memformulasikan peraturan ormawa tersebut. Namun, satu tahun berselang tiba-tiba pengesahan SK rektor tentang organisasi kemahasiswaan telah resmi tanpa adanya keterlibatan mahasiswa, dan pasal-pasal yang dianggap bermasalah sebelumnya tidak mengalami perubahan yang signifikan bahkan tidak berubah sama sekali.
Berikut beberapa pasal yang dianggap bermasalah tersebut adalah :
Pasal 2 ayat (2)
“Organisasi Kemahasiswaan tidak berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus, partai politik, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”
Bunyi pasal ini seakan-akan mengatur organisasi kemahasiswaan Unhas untuk beraktifitas hanya sebatas ranah kampus yang juga bertendensi menghalangi masuknya arus kebudayaan yang bertentangan dengan kampus namun belum tentu tidak membawa kemajuan dan membentuk lingkungan kampus yang progresif. Organisasi kemahasiswaan seharusnya bebas berafiliasi dengan organisasi manapun yang dianggap memiliki landasan ideasional yang sama. Ketidakjelasan dalam redaksi organisasi ekstra kampus yang tersebut dalam SK rektor ini menimbulkan banyak terkaan dan penafsiran yang keliru. Ayat ini secara tidak langsung melarang organisasi kemahasiswaan berafiliasi dengan organisasi yang dapat menunjang basis keilmuan dan basis massa layaknya fakultas pertanian, peternakan, kehutanan, dan FIKP bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) guna pembasisan ilmu dan basis massa dalam menyatakan sikap atas realitas sosial.
Pasal 4 ayat (1) poin a dan b
“Organisasi kemahasiswaan program sarjana ditingkat universitas adalah:
    Badan Eksekutif mahasiswa Universitas (BEM Universitas)
    Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPM Universitas)
    Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM Universitas)”
Menanggapi dari 2 poin yang terdapat dalam pasal ini lembaga kemahasiswaan di Unhas sepakat belum memerlukan adanya BEM Universitas sebagaimana yang ingin dibentuk oleh pihak Universitas karena perlunya perwakilan suara mahasiswa dalam majelis wali amanat. Lembaga kemahasiswaan di Unhas memiliki metode lain untuk mengisi perwakilan itu yang biasanya dalam bentuk pendelegasian dari masing-masing lembaga atau langsung dari ketua lembaga masing-masing, dan jika terbentuk BEM Universitas ini yang otomatis akan adanya jalur komando antara BEM Universitas dan Lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas, dan akan bersinggungan dengan beberapa lembaga kemahasiswaan yang mengatur dalam AD/ART bahwa organisasinya berotonomi penuh atas lembaganya.
Pasal 8 ayat ayat (2)
“Pengesahan dapat dilakukan apabila pengurus organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan susunan pengurus dan AD dan ART.”

Pasal ini mengharuskan setiap kepengurusan ormawa mendapat pengesahan dari pihak birokrasi kampus sebagaimana bunyi pasal tersebut. Pasal ini dinggap bermasalah karena muatannya yang bersifat tendensius. Pengesahan yang dilakukan oleh pihak birokrasi seakan tidak menghargai forum tingkat mahasiswa yang dilaksanakan untuk memilih kepengurusan. Dengan adanya pasal ini, secara tidak langsung akan melemahkan kedudukan dari ormawa itu sendiri. Masing-masing ormawa telah memiliki forum tertinggi (misalnya Musyawarah Besar) dalam memilih dan mengesahkan sebuah kepengurusan. Seharusnya keterlibatan rektor ataupun dekan hanya sampai pada tahapan mengetahui susunan kepengurusan dalam ormawa dan tidak berhak mengesahkannya. Serta adanya kontradiksi antara pasal ini dengan pasal 6 ayat (2) yang berbunyi “AD/ART Organisasi kemahasiswaan disusun dan disahkan dalam forum pengambilan keputusan tertinggi masing-masing lembaga”. Forum keputusan tertinggi pada akhirnya hanya menjadi fungsi menyusun AD/ART belaka dan fungsi pengesahannya tidak akan valid jika ada pasal ini.
Pasal 8 ayat (3)
“Pengesahan susunan pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan dalam bentuk keputusan Rektor di tingkat universitas dan keputusan Dekan di tingkat fakultas/sekolah, dan departemen/program studi.”

Dengan adanya pasal ini tercium bau intervensi yang ingin dilakukan oleh pihak kampus terhadap lembaga kemahasiswaan sebagaimana yang tersebut dalam ayat diatas rektor atau Dekan memiliki wewenang untuk mengesahkan atau menolak susunan kepengurusan lembaga kemahasiswaan. ini juga bertentangan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 155 tahun 1998. Rektor atau dekan tidak memiliki hak untuk mengintervensi secara langsung seperti itu melihat bahwa rektor atau dekan tidak mengetahui kondisi lembaga maupun proses dialektika yang terjadi di masing-masing lembaga kemahasiswaan Unhas. Oleh karena itu, keterlibatan rektor ataupun dekan hanya sampai pada tahapan mengetahui susunan kepengurusan dalam ormawa dan tidak berhak dalam mengintervensi (mengesahkan) konstitusi (AD/ART) ataupun pengurusnya.
Pasal 13 ayat (2)
“Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
    Teguran tertulis
    Penghentian sementara kegiatan kemahasiswaan
    Penghentian sementara organisasi kemahasiswaan
    Pembubaran organisasi kemahasiswaan.”

Bunyi pasal ini bahwa pada pemberian sanksi untuk organisasi kemahasiswaan didasarkan pada Tata Tertib Internal Universitas Hasanuddin serta Peraturan Perundang-Undangan. Namun, Dalam pasal pemberian sanksi ini tidak ada mekanisme pemberian sanksi yang diatur. Ketidakjelasan dari mekanisme akan mengakibatkan rektor dan/atau rekan dapat secara semena-mena dalam memberikan sanksi kepada ormawa. Perlu adanya indikator dalam mekanisme pemberian sanksi kepada ormawa jika melakukan pelanggaran terhadap kedua peraturan tersebut, jangan sampai mengakibatkan adanya aturan tambahan tanpa sepengetahuan lembaga. Hal ini tentu saja akan mengancam eksistensi atau kedudukan dari ormawa, yang akan mengganggu gerak-geraknya.

Inti dari SK rektor ini adalah ingin mendikte dan mengintervensi gerakan ormawa yang ada di universitas sehingga apa yang diinginkan pihak kampus–yang bersifat otoriter–harus dilakukan, dan hal tersebut dapat kita lihat bahwa tidak adanya lagi kebebasan (demokratisasi) yang dimiliki ormawa. Berselangnya satu tahun yang mana pengesahan SK rektor tentang organisasi kemahasiswaan telah resmi tanpa adanya keterlibatan mahasiswa dan tidak adanya ruang dialektis antara ormawa dan biroktrat yang lebih lanjut dalam penyusunannya, dari sinilah kita dapat melihat bahwa hal yang–katanya–bisa diselesaikan melalui ‘diplomasi’ hanyalah omong kosong belaka. Sudah seharusnya organisasi berotonomi penuh atas lembaganya namun organisasi kemahasiswaan pun sudah tidak lagi mendapat kedaulatannya secara penuh.

By : Muhammad Ikram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar