Jumat, 07 Desember 2018

PR ORMAWA Diberlakukan, Lembaga Mahasiswa Kini Berada Diambang Eksistensinya

By: Muhammad Ikram


Disahkannya Peraturan Rektor tentang Organisasi Mahasiswa di UNHAS, kampus kini nyaris tak lagi dekmokratis. Inilah yang dialami oleh sejumlah besar lembaga-lembaga mahasiswa di Universitas Hasanddin, di mana banyak mahasiswa pegiat lembaga intra kampus maupun UKM  mengeluhkan hal tersebut. Alasannya hampir sama, Peraturan Rektor mengenai Organisasi Mahasiswa atau yang sering disingkat PR ORMAWA tersebut dapat mengancam eksistensi dan independensi lembaga-lembaga mahasiswa.
Sejak tahun 2017 lalu, WR3 selaku Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan sangat rutin menginisiasi ruang-ruang pembahasan mengenai PR ORMAWA. Hal tersebut tidak terlepas dari suatu keharusan institusi pendidikan berstatus PTN-BH ini untuk mengeluarkan PR ORMAWA yang merupakan mandat dari Statuta UNHAS Nomor 53 Tahun 2015 pada pasal 34 ayat 4. Forum pembahasan tersebut beberapa kali tidak menemukan kesepemahaman dikarenakan draft PR ORMAWA yang lebih dulu disusun dan diperkenalkan kepada pihak mahasiswa dianggap sangat merugikan lembaga-lembaga mahasiswa kedepannya. Di forum pembahasan selanjutnya, tepatnya pada bulan ramadhan yang dirangkaikan dengan buka puasa bersama, pihak mahasiswa mengajukan draft tandingan sebagai hasil dari pembahasan bersama antara lembaga-lembaga mahasiswa. Langkah alternativ tersebut diterima, lalu setelah beberapa hari pasca pertemuan tersebut, beberapa orang mahasiswa membawa langsung draft tandingan tersebut ke rektorat. Forum pembahasan tersebut ternyata menjadi forum terakhir hingga disahkannya PR ORMAWA pada tanggal 24 April 2018 tanpa adanya tahap sosialisasi atau pembahasan bersama lebih lanjut antara lembaga-lembaga mahasiswa. Padahal sebelumnya WR3 telah menjanjikan akan melakukan pertemuan kembali untuk membahas PR ORMAWA ini, namun janji tersebut tidak ditepati, di mana secara tiba-tiba aturan ini kemudian muncul serta telah ditandatangani oleh Rektor.
Hal yang paling disoroti adalah substansi dari PR ORMAWA tersebut yang nyaris tidak mengalami perubahan dari draft awal, atau draft tandingan yang diajukan ternyata tidak terpakai sama sekali. Menurut pengakuan WR3 yang pada saat itu masih diduduki oleh pak Abd. Rasyid (Pak Cido), draft tandingan yang diajukan tersebut tidak pernah sampai di tangannya, sehingga refisi dari draft sebelumnya hanya berdasarkan pada hasil dialog-dialog yang pernah dilakukan yang dianggapnya rasional. Namun menurut pihak mahasiswa yang membawa langsung draft tersebut, ia telah memastikan bahwa draft itu telah sampai ke meja WR3. Keadaan tersebut semakin dipersulit karena Pak Cido selaku WR3 menegaskan bahwa PR ORMAWA tersebut tidak dapat diganggu gugat (direfisi) sampai tiba masa waktu berlakunya. Pada akhirnya aturan ini bersifat top down, atau hanya kesepakatan pihak birokrat tanpa adanya persetujuan dari mahasiswa, sedangkan mahasiswa merupakan objek dari aturan ini.
PR ORMAWA tersebut memuat sejumlah aturan mengenai proses dan prosedur pembentukan organisasi, status organisasi, serta bentuk dan struktur organisasi. Hingga pada bagaimana organisasi itu beraktivitas dan dijalankan harus berdasarkan pada PR ORMAWA. Padahal lembaga mahasiswa bukan sekedar organisasai yang hanya menjadi tempat berkumpulnya dua orang atau lebih yang memiliki tujuan bersama lalu kemudian melakukan kegiatan-kegiatan, melainkan lebih dari itu, lembaga mahasiswa diperkuat atas adanya landasan konstitusional dan landasan operasional yang jelas yang menjadi pedoman masing-masing lembaga dalam bergerak. Hadirnya PR ORMAWA ini pun akan berpotensi menghilagkan aspek independensi lembaga mahasiswa.
Pasca pengesahan dan diberlakukannya PR ORMAWA ini, beberapa lembaga mahasiswa telah mengalami tindakan tegas oleh pihak birokrasi kampus. Seperti yang dialami oleh salah seorang kawan yang tak ingin disebutkan namanya, ia mengaku bahwa lembaganya pernah didatangi oleh WR3 (Pak Cido) dan mengirimkan langsung surat yang berisi ancaman pembubaran organisasi jika tidak segera melakukan MUBES dan pergantian badan kepengurusan sebelum akhir tahun 2018. Kejadian tersebut merupakan bagian kecil dari ancaman bagi lembaga-lembaga mahasiswa yang tidak mau tunduk dan ikut aturan. Hal tersebut harusnya tidak terjadi, di mana seharusnya lembaga mahasiswa memiliki kedudukan sebagai mitra kritis kampus yang diberikan ruang untuk beraktivitas dan berkreativitas bagi pengembangan diri dan intelektual mahasiswa.
Hal serupa nyaris dilakukan oleh WR3 yang baru, yaitu Pak Arsunan yang akrab dipanggil prof Cunan. Diawal masa jabatannya setelah menggantikan Pak Cido, ia telah disibukkan oleh usahanya dalam membentuk BEM-U sebagai suatu mekanisme yang diatur dalam PR ORMAWA. Setelah terbentuknya BEM-U yang diusungnya, tentu akan membantu dan mempermudah aktivitasnya dalam mengontrol lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di kampus.
Kedepannya, implementasi dari PR ORMAWA ini akan secara terang-terangan mengusik kedudukan lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di kampus. Ruang-ruang transformasi pengetahuan, implementasi pemahaman, serta ruang-ruang dialogis yang tidak sejalan dengan visi misi kampus akan dibatasi atau bahkan dilarang sama sekali. Pemikiran dan tindakan kritis yang mengkritisi kampus dan embel-embelnya akan dicap sebagai sebuah gerakan radikal yang keberadaannya harus dibasmi dari kampus. Bagi yang suka menyuarakan pendapat lepas, baik di jalanan atau pun di atas kertas takkan pernah lepas dari dikte kampus. Di bawah kontrol birokrasi, kampus tak lagi demokratis. Kampus akan berubah jadi semakin represif, di mana akan banyak korban berdarah di kampus yang merah ini. Tak akan ada lagi istilah Gerakan Mahasiswa karena semua berada dibawah kontrol yang ketat. Pada waktunya, setiap lembaga mahasiswa akan diarahkan sebagai wadah pembentukan karakter mahasiswa yang berjiwa kompetitif saja, kreatif dan inovatif dengan fikiran yang seragam berdasarkan kurikulum hafalan, di mana hal itu tidaklah sepenuhnya salah, tapi seperti sebuah kalimat yang mungkin saja pernah kita dengar “memaksa orang untuk kritis adalah tidak kritis sama sekali”, maka kampus tak sepatutnya memaksakan hal tersebut.
“Jika kita menghamba kepada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan”
­_Wiji Thukul
Hidup Gerakan Mahasiswa, Panjang Umur Perjuangan!!......
Continue Reading...

Donor Darah

Kegiatan Donor yang  merupakan salah satu program kerja yang diusulkan oleh Divisi Pengabdian Kepada Masyarakat, dan alhamdulillah kegiatan tersebut telah di laksanakan pada hari Kamis, 25 Oktober 2018. Kegiatan ini disambut baik oleh warga FMA yang dapat dilihat dari banyaknya orang yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
Dari kegiatan tersebut telah terkumpul darah donor sebanyak 45 kantong darah.
berikut beberapa dokumentasi dari kegiatan tersebut







Continue Reading...

PENGESAHAN KEPUTUSAN REKTOR TENTANG ORGANISASI KEMAHASISWAAN MELALUI PROSES YANG MENEGASIKAN PERAN MAHASISWA


Tahun lalu, Mahasiswa Unhas terkhusus lembaga kemahasiswaannya protes kepada pihak Universitas Hasanuddin terhadap surat keputusan rektor tentang organisasi kemahasiswaan yang dinilai substansinya dapat dibilang mengekang dan membuat organisasi kemahasiswaan tidak mendapat kedaulatan organisasinya secara penuh.
Surat keputusan rektor tersebut merupakan peraturan yang didasarkan pada pasal 49 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2015 tentang statuta Universitas Hasanuddin, dimana organisasi kemahasiswaan yang kemudian disingkat ormawa diatur dalam Peraturan Rektor. Hal ini menjadi sesuatu yang dibuat atas hak otonomi unhas sebagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH), padahal sebelumnya telah diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Setelah beredarnya rancangan SK tersebut terdapat beberapa poin yang disoroti dan mengancam eksistensi dari ormawa di Unhas.
Organisasi kemahasiswaan Universitas Hasanuddin mengambil langkah dialog dengan pihak birokrat sebagai metode protes mereka dan menawarkan draf tandingan sebagai pengganti rancangan SK rektor terkait ormawa Unhas. Hal ini mendapatkan pujian dan sambutan dari wakil rektor bidang kemahasiswaan yang menganggap mahasiswa seharusnya menempuh jalur diplomasi seperti ini daripada hanya protes saja dan dia berjanji akan melibatkan mahasiswa dalam memformulasikan peraturan ormawa tersebut. Namun, satu tahun berselang tiba-tiba pengesahan SK rektor tentang organisasi kemahasiswaan telah resmi tanpa adanya keterlibatan mahasiswa, dan pasal-pasal yang dianggap bermasalah sebelumnya tidak mengalami perubahan yang signifikan bahkan tidak berubah sama sekali.
Berikut beberapa pasal yang dianggap bermasalah tersebut adalah :
Pasal 2 ayat (2)
“Organisasi Kemahasiswaan tidak berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus, partai politik, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”
Bunyi pasal ini seakan-akan mengatur organisasi kemahasiswaan Unhas untuk beraktifitas hanya sebatas ranah kampus yang juga bertendensi menghalangi masuknya arus kebudayaan yang bertentangan dengan kampus namun belum tentu tidak membawa kemajuan dan membentuk lingkungan kampus yang progresif. Organisasi kemahasiswaan seharusnya bebas berafiliasi dengan organisasi manapun yang dianggap memiliki landasan ideasional yang sama. Ketidakjelasan dalam redaksi organisasi ekstra kampus yang tersebut dalam SK rektor ini menimbulkan banyak terkaan dan penafsiran yang keliru. Ayat ini secara tidak langsung melarang organisasi kemahasiswaan berafiliasi dengan organisasi yang dapat menunjang basis keilmuan dan basis massa layaknya fakultas pertanian, peternakan, kehutanan, dan FIKP bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) guna pembasisan ilmu dan basis massa dalam menyatakan sikap atas realitas sosial.
Pasal 4 ayat (1) poin a dan b
“Organisasi kemahasiswaan program sarjana ditingkat universitas adalah:
    Badan Eksekutif mahasiswa Universitas (BEM Universitas)
    Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPM Universitas)
    Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM Universitas)”
Menanggapi dari 2 poin yang terdapat dalam pasal ini lembaga kemahasiswaan di Unhas sepakat belum memerlukan adanya BEM Universitas sebagaimana yang ingin dibentuk oleh pihak Universitas karena perlunya perwakilan suara mahasiswa dalam majelis wali amanat. Lembaga kemahasiswaan di Unhas memiliki metode lain untuk mengisi perwakilan itu yang biasanya dalam bentuk pendelegasian dari masing-masing lembaga atau langsung dari ketua lembaga masing-masing, dan jika terbentuk BEM Universitas ini yang otomatis akan adanya jalur komando antara BEM Universitas dan Lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas, dan akan bersinggungan dengan beberapa lembaga kemahasiswaan yang mengatur dalam AD/ART bahwa organisasinya berotonomi penuh atas lembaganya.
Pasal 8 ayat ayat (2)
“Pengesahan dapat dilakukan apabila pengurus organisasi kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan susunan pengurus dan AD dan ART.”

Pasal ini mengharuskan setiap kepengurusan ormawa mendapat pengesahan dari pihak birokrasi kampus sebagaimana bunyi pasal tersebut. Pasal ini dinggap bermasalah karena muatannya yang bersifat tendensius. Pengesahan yang dilakukan oleh pihak birokrasi seakan tidak menghargai forum tingkat mahasiswa yang dilaksanakan untuk memilih kepengurusan. Dengan adanya pasal ini, secara tidak langsung akan melemahkan kedudukan dari ormawa itu sendiri. Masing-masing ormawa telah memiliki forum tertinggi (misalnya Musyawarah Besar) dalam memilih dan mengesahkan sebuah kepengurusan. Seharusnya keterlibatan rektor ataupun dekan hanya sampai pada tahapan mengetahui susunan kepengurusan dalam ormawa dan tidak berhak mengesahkannya. Serta adanya kontradiksi antara pasal ini dengan pasal 6 ayat (2) yang berbunyi “AD/ART Organisasi kemahasiswaan disusun dan disahkan dalam forum pengambilan keputusan tertinggi masing-masing lembaga”. Forum keputusan tertinggi pada akhirnya hanya menjadi fungsi menyusun AD/ART belaka dan fungsi pengesahannya tidak akan valid jika ada pasal ini.
Pasal 8 ayat (3)
“Pengesahan susunan pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan dalam bentuk keputusan Rektor di tingkat universitas dan keputusan Dekan di tingkat fakultas/sekolah, dan departemen/program studi.”

Dengan adanya pasal ini tercium bau intervensi yang ingin dilakukan oleh pihak kampus terhadap lembaga kemahasiswaan sebagaimana yang tersebut dalam ayat diatas rektor atau Dekan memiliki wewenang untuk mengesahkan atau menolak susunan kepengurusan lembaga kemahasiswaan. ini juga bertentangan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 155 tahun 1998. Rektor atau dekan tidak memiliki hak untuk mengintervensi secara langsung seperti itu melihat bahwa rektor atau dekan tidak mengetahui kondisi lembaga maupun proses dialektika yang terjadi di masing-masing lembaga kemahasiswaan Unhas. Oleh karena itu, keterlibatan rektor ataupun dekan hanya sampai pada tahapan mengetahui susunan kepengurusan dalam ormawa dan tidak berhak dalam mengintervensi (mengesahkan) konstitusi (AD/ART) ataupun pengurusnya.
Pasal 13 ayat (2)
“Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
    Teguran tertulis
    Penghentian sementara kegiatan kemahasiswaan
    Penghentian sementara organisasi kemahasiswaan
    Pembubaran organisasi kemahasiswaan.”

Bunyi pasal ini bahwa pada pemberian sanksi untuk organisasi kemahasiswaan didasarkan pada Tata Tertib Internal Universitas Hasanuddin serta Peraturan Perundang-Undangan. Namun, Dalam pasal pemberian sanksi ini tidak ada mekanisme pemberian sanksi yang diatur. Ketidakjelasan dari mekanisme akan mengakibatkan rektor dan/atau rekan dapat secara semena-mena dalam memberikan sanksi kepada ormawa. Perlu adanya indikator dalam mekanisme pemberian sanksi kepada ormawa jika melakukan pelanggaran terhadap kedua peraturan tersebut, jangan sampai mengakibatkan adanya aturan tambahan tanpa sepengetahuan lembaga. Hal ini tentu saja akan mengancam eksistensi atau kedudukan dari ormawa, yang akan mengganggu gerak-geraknya.

Inti dari SK rektor ini adalah ingin mendikte dan mengintervensi gerakan ormawa yang ada di universitas sehingga apa yang diinginkan pihak kampus–yang bersifat otoriter–harus dilakukan, dan hal tersebut dapat kita lihat bahwa tidak adanya lagi kebebasan (demokratisasi) yang dimiliki ormawa. Berselangnya satu tahun yang mana pengesahan SK rektor tentang organisasi kemahasiswaan telah resmi tanpa adanya keterlibatan mahasiswa dan tidak adanya ruang dialektis antara ormawa dan biroktrat yang lebih lanjut dalam penyusunannya, dari sinilah kita dapat melihat bahwa hal yang–katanya–bisa diselesaikan melalui ‘diplomasi’ hanyalah omong kosong belaka. Sudah seharusnya organisasi berotonomi penuh atas lembaganya namun organisasi kemahasiswaan pun sudah tidak lagi mendapat kedaulatannya secara penuh.

By : Muhammad Ikram
Continue Reading...