RARA
Duduk di atas kasur empuk. Dibalut dalam pakian adat khas sulawesi selatan. Mengenakan bandol besi, seberat tiga kilogram. Ditambah sejumlah gelang di lengan kanan dan kiri. Berada di kamar ku yang indah. Penuh dekorasi warna. Mulai dari dinding, lemari, meja make-up, kasur, dan semuanya. Tampil menawan dengan tataan kain yang lucu.
Duduk manis, ditemani para sahabat dan orang tua (prempuan). Mereka kompak memandang ke arah ku. Beberapa dari mereka saling berbisik, sambil memandang ke arah ku. Ada juga yang memuji "Raraa.. Kamu memang cantik".
Aku tampil berbeda dari biasanya. Rambut ku disanggul, sekaan menjadi mahkota ku untuk hari ini. Alisku dihias, semakin membuat ku terlihat cantik. Dengan pipi berwarna merah jambu. Membuat senyum ku semakin manis. Bibir ku merah merona, beda dengan yang lainnya.
Ini, hari yang besar untuk ku. Maksud ku, untuk kami. Hari yang tak akan kami lupakan. Sudah lama aku memimpikan ini semua. Dan tak ku sangka. Mimpi itu, datang hari ini.
Suasana hening, terlalu hening. Jemariku bergetar. Rasanya berat untuk menarik napas. Bahkan untuk menggerakkan lengan ku saja, terasa sulit. Aku dibantu nenek, yang daritadi menenangkan perasaan ku. Menggenggam kuat jari ku yang terus bergetar.
"Raraa...Raraaa" Nenek berulang kali menyebut nama ku.
Aku tegang. Tak bisa ku menyembunyikannya. Lebih tegang dibanding menghadapi semua masalah yang pernah ku lewati. Sedingin apapun AC kamar ku bekerja. Kurasa itu tak sanggup mendinginkan badan ku, yang diselimuti rasa panas, yang entah datang dari mana.
Ibu duduk di samping nenek. Selalu menyakinkan ku, untuk bisa melewatinya. Aku pikir, ibu dan semua prempuan disini pernah merasakan ini. Dan mereka berhasil melewatinya. Aku harus tegar. Aku pasti bisa melewati hari ini.
Aku pandangi senyum para sahabat ku, yang berjejer di salah satu dinding kamar. Semakin membuat ku tegar menghadapi semua ini. Aku tarik napas panjang, dan menghembuskannya dengan perlahan. Mencoba menenangkan diri. Setiap detik di hari ini, serasa seperti sejam. Sangat lama berlalunya.
Suasana masih tetap sama. Hening. Hingga akhirnya, terdengar suara dari luar kamar. Suara dari soundsistem, membuat semua orang mendengarkannya. Suaranya agak malu-malu. Tapi, aku mengenal suara itu. Suara itu, milik seorang lelaki yang ku kenal.
Lagi-lagi, aku semakin tegang. Dalam sekejap, sekujur tubuh ku merinding. Air mata ku hampir menetes. Namun aku menahannya sekuat tenaga. Aku mungkin sering meneteskan air mata. Tapi tidak hari ini, dihari bahagia ini. Mendengar suaranya mengucapkan kalimat-kalimat sakral. Kalimat yang akan ia ucapkan, sekali dalam hidupnya. Dipandu oleh sang penghulu yang pasti, berada di dihadapannya.
Aku dengar, ia berulang kali salah dalam menyebutnya. Aku pikir, ia merasakan apa yang ku rasa. Tegang. Tapi, aku percaya padanya. Dia pasti bisa menyebutkannya dengan sempurna, kalimat sakral itu. Dia selalu bisa melakukan apapun untuk ku. Termasuk mengucapkan kalimat itu. Aku selalu percaya padanya.
Aku ingin mendampinginya di sana. Tapi, sesuai adat. Aku harus berada di kamar. Dan menunggunya datang menjemput ku. Aku terus menenangkan diri. Dan itu dia, dia berhasil menyebutkannya dengan sempurna dan lancar. Spontan, ibu langsung memeluk ku. Memeluk ku dengan erat. Air mataku hampir menetes, terharu. Tapi aku tetap tegar. Tak akan ku perlihatkan setetes air mata ku di hari ini.
Tak beberapa lama. Pintu kamar dibuka oleh seorang bapak tua, mengenakan jas tutup hitam dengan sarung bermotif indah dan sarung seperti syal di lehernya. Aku pikir, ia penghulu itu. Membuka pintu, dan melangkah masuk. Diikuti olehnya, lelaki itu. Melangkah malu-malu, mendekatiku yang duduk manis di atas kasur.
Dia benar-benar datang menjemputku.